Drama Kekerasan Indonesia, Kutukan?

FAST DOWNLOADads
Download






Pilpres kemudian yang berujung pada bentrok dan kekerasan Drama Kekerasan Indonesia, Kutukan?
Aksi 22 Mei pasca-Pilpres kemudian yang berujung pada bentrok dan kekerasan. (Foto: AP)


7 minute read


Kekerasan dan demokrasi dianggap berjalan bersandingan dalam kehidupan sosio-politik Indonesia. Apakah Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kekerasan?




PinterPolitik.com



“The violence and the killin’, so given” – Joey Bada$$, penyanyi rap asal Amerika Serikat



Drama politik di Indonesia memang tidak ada habis-habisnya. Drama ini sanggup dibilang selalu mencapai klimaksnya dengan terjadinya kekerasan-kekerasan yang menyertainya.


Buruknya, drama yang disertai kekerasan ini sering kali meninggalkan luka dengan munculnya korban-korban meninggal. Ambil saja kerusuhan 22 Mei kemudian yang turut meninggalkan luka serupa.


Luka akhir drama kekerasan ini sempat menciptakan kita terkenang dengan masa lampau. Katakanlah, Tragedi Mei 1998 yang menjadi titik kulminasi konflik sosial dan politik di era Orde Baru – menimbulkan tewas dan hilangnya para demonstran serta kekerasan terhadap kelompok minoritas.


Belum lagi, drama kekerasan politik ini turut dimainkan beberapa pihak di kalangan politisi. Ada yang bilang bahwa beberapa orang pun tercancam dibunuh, menyerupai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto dan Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya.



Ada yang bilang bahwa kerusuhan tersebut telah direncanakan. Kivlan Zen dan politisi PPP Habil Marati misalnya, dituding terlibat dalam mendorong terjadinya kekerasan dalam Kerusuhan 22 Mei.


Beberapa pihak juga mengkritik pihak berwajib alasannya yaitu tampak bias dalam mengungkap penyebab kerusuhan tersebut. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) misalnya, menilai polisi tidak mengutamakan korban dalam kerusuhan tersebut.


Mungkin benar bahwa drama ini memang sulit menemui akhirnya. Apalagi, banyak pihak turut mengaduk polemik ini. Namun, mengapa siklus kekerasan semacam ini terus terjadi di Indonesia? Lantas, apakah siklus ini akan terus berlanjut di masa mendatang?


Budaya Indonesia?


Mungkin, drama kekerasan dalam tragedi tersebut memang telah mendarah daging dalam cetakan biru budaya kita. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Prabowo Subianto pada tahun 2001 silam, budaya kekerasan merupakan pecahan dari budaya Indonesia. Bahkan, kata dalam bahasa Inggris “amok” berasal dari kata Melayu “amuk” – mempunyai arti sebagai kerusuhan yang melibatkan banyak orang.


Pernyataan serupa turut diungkapkan oleh penulis dan peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh South China Morning Post, Andreas menyampaikan bahwa kekerasan Indonesia itu tergambarkan dalam kata tersebut.


Mungkin benar apa yang diungkapkan oleh Prabowo dan Andreas bahwa kekerasan telah tercetak dalam budaya Indonesia. Pasalnya, kekerasan memang menjadi tradisi dalam beberapa kelompok etnis Indonesia.


Sebut saja, kelompok etnis Madura. Etnis yang menempati pulau di timur Jawa ini mempunyai tradisi carok. Tradisi ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura dengan melaksanakan duel antara dua pihak apabila terjadi sengketa yang tak terselesaikan, menyerupai permasalahan wanita.


Mungkin, DNA budaya inilah yang menciptakan masyarakat Indonesia rentan untuk jatuh pada jurang kekerasan politik. Pasalnya, sepanjang sejarah Indonesia berdiri, transisi politik biasanya turut dihantui oleh kekerasan.


Kata dalam bahasa Inggris “amok” berasal dari kata Melayu “amuk” yang mempunyai arti sebagai kerusuhan yang melibatkan banyak orang. Click To Tweet


Tragedi Mei 1998 misalnya, merupakan salah satu kekerasan politik yang sampai kini masih menjadi perdebatan. Kekerasan politik ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto.


Transisi politik yang terjadi di simpulan periode ke-20 ini turut dihantui oleh konflik sosial antar-etnis, di mana kelompok minoritas Tionghoa menjadi kambing hitam dari keresahan masyarakat.


Lebih lampau lagi, terjadinya transisi politik dari Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru juga disertai dengan kekerasan politik. Pada ketika itu, sasaran utama dari Gerakan 30 September pada tahun 1965 yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pendukung-pendukungnya. Sebagian anggota kelompok etnis juga menjadi korban.


Namun, apakah benar kekerasan sepenuhnya pecahan dari budaya Indonesia?


Uniknya, kekerasan yang terjadi ketika itu bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi sosio-politik Indonesia. Pihak abnormal disebut-sebut turut mengeksploitasi kekerasan politik tersebut.


Amerika Serikat (AS), berdasarkan tulisan Vincent Bevins di the Atlantic, turut memainkan tugas penting. Berdasarkan dokumen-dokumen AS, Central Intelligence Agency (CIA) disebutkan telah menyedikan peralatan komunikasi bagi Soeharto untuk berbagi laporan-laporan palsu.


Dokumen tersebut menjelaskan bahwa pemerintah AS mempunyai warta menyalahkan pihak-pihak PKI dalam upaya kudeta. Namun, berdasarkan goresan pena Bevins, warta tersebut tidak akurat tetapi tetap dipakai oleh Soeharto untuk berbagi narasi anti-PKI.


Hal tersebut boleh jadi masih sangat sulit dibuktikan. Meski demikian, kemungkinan adanya campur tangan pihak-pihak di belakang kekerasan ini menawarkan bahwa, kekerasan politik di Indonesia sanggup saja tidak hanya berasal dari DNA budaya Indonesia.


Kolonisasi yang dilakukan Belanda di Indonesia sanggup jadi turut mendorong budaya kekerasan masyarakat. Strategi divide et impera (memecah-belah dan menguasai) yang banyak diterapkan oleh penjajah dari negara-negara Barat merupakan taktik yang mempunyai dampak pada masyarakat pos-kolonial.


Menurut Richard Morrock dalam tulisannya yang berjudul Heritage of Strife, taktik tersebut sebagai warisan kolonial mempunyai dampak berkelanjutan yang turut tertanam dalam masyarakat negara-negara berkembang. Salah satu dampak tersebut yaitu antagonisme etnis – turut menghantui kelompok etnis Tionghoa di Indonesia.


Siklus Kekerasan?


Mungkin, selain budaya, warisan kolonial, dan campur tangan asing, tendensi kekerasan masyarakat Indonesia sanggup jadi berkaitan dengan sifat alamiah manusia. Banyak yang bilang bahwa kekerasan di masyarakat berasal dari sifat kehewanan yang dimiliki oleh manusia.


Beberapa penelitian juga menemukan bahwa insan dan binatang mempunyai kemiripan dalam sikap kekerasan. Salah satu penelitian menawarkan bahwa sikap kekerasan antara insan dan tikus mempunyai proses dan dampak yang mirip.


Namun, apakah benar insan benar-benar mempunyai kesamaan dengan binatang dalam sikap kekerasan dan konfliknya?




Demonstrasi Pilpres 2019 berujung ricuh. Selengkapnya dalam goresan pena berjudul “Bolehkah Polisi Menembak Pendemo?” di Pinterpolitik.com


Posted by Pinter Politik on Thursday, May 23, 2019




Tampaknya, tidak semua andal beropini sama. Peter Verbeek dalam tulisannya yang berjudul “An Ethological Perspective on War and Peace” beropini bahwa insan tidak mempunyai dorongan natural yang sama menyerupai hewan.


Verbeek melihat bahwa insan mempunyai pilihan berbeda. Menurutnya, baik insan maupun hewan, menentukan untuk berkonflik untuk mengatasi ketakutan dan empati. Perbedaannya terletak pada faktor-faktor kognitif dan emosional yang dimiliki khusus oleh manusia.


Faktor emosional ini memang sanggup menciptakan insan mempunyai ikatan sosial tersendiri. Mengacu pada konsep asabiyyah (solidaritas atau kohesi) milik filsuf Ibnu Khaldun yang dijelaskan oleh Douglas H. Garrison dalam tesisnya, insan membentuk kohesi dan solidaritas sosial yang didasarkan pada persamaan.


Konsep asabiyyah ini sanggup juga dikaitkan dengan emosi yang dimiliki oleh manusia. Menurut Ibn Khaldun yang banyak dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Islam, agama turut menjadi pelekat emosi bagi asabiyyah.


Selain itu, asabiyyah terbentuk dengan kesamaan kepentingan untuk meraih hasil-hasil sosiopolitik. Dalam hal ini, konflik sanggup terjadi antar-asabiyyah. Menurut Mehmet Orhan dalam tulisannya yang berjudul “Political Violence, Asabiyya and Identity,” solidaritas kolektif ini sanggup menjadi repertoar terhadap kekerasan politik.


Ibnu Khaldun sebagai filsuf yang melihat proses sejarah sebagai sebuah siklus menjelaskan bahwa konflik antar-asabiyyah yang disertai dengan kekerasan ini membawa pergantian dominansi. Dengan mengamati pergantian kekuasaan suku Badui di Afrika Utara, Ibnu Khaldun meyakini bahwa asabiyyah yang besar lengan berkuasa akan menggantikan asabiyyah yang lebih lemah.


Dari sinilah, siklus kekerasan ala Ibn Khaldun akan terjadi. Keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang dinamis menciptakan siklus Khaldunian terus berlanjut, di mana pergantian ke asabiyyah dominan yang gres akan selalu melibatkan kekerasan sampai generasi-generasi berikutnya.


Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kekerasan akan terus terjadi di Indonesia?


Bila mengacu pada filsafat ala Ibn Khaldun, siklus kekerasan di Indonesia sanggup saja tetap berlanjut di masa mendatang. Situasi ekonomi, sosial, dan politik antar­-asabiyyah di Indonesia sanggup jadi mendorong kekerasan untuk terjadi.


Tendensi suatu kelompok untuk melalukan kekerasan sanggup berujung pada keberhasilannya dalam meraih tujuan sosio-politiknya. Terdapat tiga faktor yang sanggup mendorong keberhasilan tersebut, yaitu kesalihan asabiyyah dalam beragama, masyarakat yang sebagian besar homogen, dan melemahnya rezim yang sudah uzur.


Bisa jadi, dua dari tiga faktor tersebut sanggup menggambarkan kondisi Indonesia pada masa kini. Kombinasi antara homogenitas masyarakat Indonesia dan kesalihannya dalam beragama yang meningkat sanggup jadi menciptakan kekerasan semakin berpotensi untuk terjadi di Indonesia.


Apalagi, budaya kekerasan dan demokrasi yang sejalan turut menjadi fitur bagi masyarakat Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Verena Beittinger-Lee dalam bukunya yang berjudul (Un)Civil Society and Political Change in Indonesia, kehadiran kelompok-kelompok yang mempromosikan kekerasan di masyarakat turut menggambarkan persaingan politik dalam demokrasi Indonesia.


Pada akhirnya, lirik rapper Joey Bada$$ di awal goresan pena menjadi relevan. Kekerasan pun mungkin telah menjadi fitur yang telah menempel di Indonesia, entah ke arah mana masa depan negara ini akan berlabuh. (A43)










>>Artikel Asli<<


FAST DOWNLOADads
Download
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url