Orkes Tanjidor Betawi, Pengiring Dansa Para Tuan Tanah

FAST DOWNLOADads
Download





Jakarta, CNN Indonesia — Sebagai salah satu seni budaya Betawi, orkes tanjidor memiliki sejarah panjang. Asal muasalnya disebut mempunyai beberapa versi. Ada yang menyebut mereka dibawa oleh bangsa Portugis, sementara sebagian lagi menyampaikan mereka merupakan ‘sisa’ dari kebiasaan berpesta orang Belanda ketika menjajah Indonesia.


Budayawan Betawi Ridwan Saidi condong setuju dengan pernyataan kedua. Menurutnya, kata ‘tanjidor‘ sendiri bahu-membahu terdiri dari dua suku kata, yaitu ‘tanji’ dan ‘dor’.


“Awalnya ‘tanji’, enggak pakai ‘dor’. Tanji itu onderneming, artinya perkebunan, jadi [dianggap] rumah pemilik perkebunan. Mereka itu musik tuan tanah, jadi ketika sewaktu-waktu ada tamu itu dikasih musik,” katanya kala dihubungi CNNIndonesia.com.


Ridwan menegaskan, para pemusik itu sepenuhnya berstatus karyawan atau pekerja. Hanya saja tidak di perkebunan, melainkan semata memainkan musik. Tuan tanah pemilik perkebunan lantas menampilkan para pemusik tersebut untuk mengiringi pesta yang lekat dengan program dansa.


“Kalau ada pesta, mereka [tuan tanah] tidak mencari-cari [pemain] musik, mereka sudah ada musik yang namanya musik tanji, musiknya pemilik rumah,” katanya lagi.


Sebelum musik tanji yang dimulai sekitar selesai kurun 19, ujar Ridwan, orang-orang Belanda mempunyai musik ‘dansu’. Semua personelnya masih orang Belanda sendiri, sementara musik tanji sepenuhnya diisi oleh orang Indonesia. Ketika negeri ini bergolak alasannya revolusi pada 1945, tuan-tuan tanah menentukan melarikan diri. Para pemusik yang ditinggalkan di perkebunan pun kebingungan, tak tahu harus berbuat apa.


“Tukang-tukang musik keluar dari perkebunan, dari situ disebut ‘tanjidor’. ‘Dor’ artinya bergerak, juga dari bahasa Armenia yang sudah meresap ke dalam kosakata Indonesia,” ujar Ridwan.


Karena memainkan musik ialah satu-satunya hal yang bisa dilakukan, maka para pemusik pun membawa serta instrumen mereka. Instrumen tersebut diakui Ridwan sudah berumur alasannya merupakan warisan dari tanji. Tak mengherankan apabila kondisinya sudah tak maksimal, contohnya tak bisa mengeluarkan bebunyian sebagaimana harusnya.


Para pemusik yang telah kembali bersama saudara sebangsa tetap mempertahankan kebiasaan bermain musik. Lambat laun, mereka membentuk semacam perkumpulan untuk memainkan instrumen secara berkelompok. Inilah, kata Ridwan, cikal bakal orkes tanjidor Betawi.


Ia membenarkan bahwa para pemain orkes tanjidor tidak mempunyai pendidikan musik secara formal. Mereka tak bisa membaca partitur, not balok, maupun tangga nada.


Pemimpin orkes Tanjidor Pusaka Tiga Saudara yang bermarkas di Cijantung, Jakarta Timur, Ma’ah Piye turut mengiyakan. Ia mengingat, dulu berguru memainkan trompet dengan menonton sang ayah memainkan instrumen yang sama.


“Dulu berguru pakai otak sama hati, cuma melihat cara pencet begini. Tapi Alhamdulillah ketemu do re mi la si do-nya,” ungkapnya kepada CNNIndonesia.com.


Sofyan Marta, koordinator orkes Tanjidor Sanggar Putra Sunbulat Sari di Jakarta Timur beropini proses berguru seadanya itu menciptakan bunyi alat musik yang dimainkan sering terdengar fals. Selain itu, permasalahan kembali ke instrumen yang sudah tua.












 Asal muasalnya disebut mempunyai beberapa versi Orkes Tanjidor Betawi, Pengiring Dansa Para Tuan TanahSeorang personel orkes tanjidor membawa sousaphone. (CNN Indonesia/M Andika Putra)




Ridwan mengingatkan, tuanya alat-alat musik orkes kerap mengakibatkan duduk kasus kesehatan yang umumnya bersarang di paru-paru pemain alat musik tiup. Namun kalau diberikan instrumen yang sama sekali baru, para pemain justru akan kesulitan.


“Karena sudah usang kan itu [instrumen], dari lisan ke mulut. Kaprikornus pemusik ini sudah terbiasa memakai alat-alat usang ini. Alat-alat ini sudah fals, tetapi ketika disuruh bermain dengan alat gres enggak bisa, alasannya sudah terbiasa mendengar suara-suara dari alat tiup itu,” ujarnya.


Instrumen yang telah berumur bukan satu-satunya keunikan orkes tanjidor. Hal istimewa lainnya adalah bagaimana para pelaku tetap mempertahankan nilai kekeluargaan di dalamnya. Kemampuan memainkan alat musik diwariskan secara turun temurun, menyerupai yang dialami Sofyan. Kakeknya, Nya’at bin Jaim merintis orkes tanjidor semenjak 1928. Penerusnya lalu ialah sang paman, Boris, meski hanya bertahan lima tahun.


Seorang putra Boris lalu melanjutkan orkes tanjidor yang telah berganti nama menjadi Putra Sunbulat Sari pada 1980. Karena tak bisa menjalankan orkes, adik Boris yang ialah ayah Sofyan, mengambil alih kemudi.


Hal serupa turut dialami Ma’ah. Bahkan hingga ketika ini, 12 orang personel Tanjidor Pusaka Tiga Saudara masih mempunyai hubungan darah. Ma’ah sendiri meneruskan orkes yang sebelumnya dipimpin oleh sang kakek dan ayahnya.


“Anaknya enggak disuruh juga mau melanjutkan [orkes] bapaknya. Semuanya juga begitu, pemusik Betawi semuanya biologis,” kata Ridwan, menanggapi nilai kekeluargaan dalam orkes tanjidor. (rea)









>>Artikel Asli<<


FAST DOWNLOADads
Download
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url