ICPI meminta pemerintah inovatif semoga wisatawan mancanegara tingkatkan devisa RI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) menyoroti duduk kasus terkini terkait sektor pariwisata di Tanah Air. Menurut Ketua ICPI Azril Azahari, pemerintah tak sanggup sekadar menargetkan angka kunjungan wisatawan mancanegara. Sebab, jikalau hanya berkutat soal angka kunjungan, belum tentu berbanding lurus dengan pendapatan devisa.
Menurut dia, inti dari cita-cita semua pihak yaitu mendatangkan sebanyak-banyaknya wisatawan yang gemar melaksanakan konsumsi di Indonesia.
Dia mengakui, salah satu fokus pemerintah dalam beberapa bulan ke depan ialaha optimalisasi potensi border tourism atau turis dari negara-negara tetangga. Bagaimanapun, seni administrasi itu dinilainya hanya sanggup membantu peningkatan sektor pariwisata dalam jangka pendek. Apalagi, manfaat devisa yang sanggup diraup belum tentu besar.
“Pemahaman saya, yang penting bukan jumlah wisatawan, tapi berapa banyak beliau menghabiskan waktu di Indonesia. Membelanjakan uang. Buat apa banyak turis tapi backpacker,” kata Azril kepada Republika.co.id, Ahad (23/6).
Azril menekankan, semakin usang turis berwisata di Indoneisa semakin baik pula efek yang dirasakan masyarakat sekitar. Pariwisata menjadi tak berarti ketika masyarakat di sekitar destinasi wisata tak menikmati hasil dari kunjungan.
Di sisi lain, ia menilai pembangunan pariwisata ketika ini kurang menekankan filosofi dasar pariwisata itu sendiri. Menurutnya, pemerintah sebatas menjual keindahan alam yang dimiliki Indonesia. Itu terlihat dari teladan pembangunan ’10 Bali Baru.” Padahal, kata Azril, tren global berwisata kini telah bergeser ke hal-hal yang bersifat kebudayaan.
“Ada nilai keunikan dan otentik suatu destinasi yang lebih dicari wisatawan ketika ini. Bukan hanya mencari keindahan alam. Tidak bisa. Pembangunan pariwisata harus mengarah ke hal-hal yang menarik wisatawan untuk menjadi ibarat potongan dari masyarakat lokal. Disitulah daya tarik wisata ketika ini,” kata Azril.
Dengan cara tersebut, Azril meyakini, usang waktu kunjung wisatawan mancanegara sanggup lebih lama. Sebab, kata Azril, wisatawan bakal tertarik untuk mempelajari budaya Indonesia dan pada ketika yang bersamaan konsumsi terus berjalan. “Jadi kita harus menciptakan pengalaman yang bernilai. Bukan hanya melihat alam kemudian pulang,” ujarnya.
Untuk mendukung usang tinggal wisatawan, Pakar Pariwisata dari Universitas Andalas, Sari Lenggoneni menambahkan, keberadaan homestay sanggup menjadi unsur pendukung dari tren minat wisata ketika ini. Kecenderungan wisatawan mancanegara yang ingin mencicipi ibarat menjadi masyarakat lokal sanggup difasilitasi dengan adanya homestay yang berdiri di destinasi desa wisata.
Hanya saja, ia mengatakan, pemerintah perlu segera menciptakan standardisasi dan regulasi untuk pengembangan homestay ke depan. Hal itu semoga tidak terjadi tumpang-tindih antara homestay dengan bisnis perhotelan yang tentu bakal saling berebut pasar. Ia tak menampik bahwa wisatawan mancanegara milenial ketika ini cenderung menentukan homestay ketimbang hotel.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata Kemenpar, Anneke Prasyanti, menjelaskan, Kemenpar menargetkan terbentuknya 10 ribu hamar homestay di 2.000 desa wisata. Hanya saja, untuk ketika ini definisi dari homestay itu sendiri belum diresmikan sehingga regulasi belum sanggup dibuat. Di sisi lain, pengelolaan homestay oleh komunitas masyarakat di desa wisata belum sebaik yang diperlukan sehingga edukasi dan sosialisasi masih harus terus dilakukan.
—