…masih banyak pemikir filsafat yang dapat disimak untuk menemukan pikiran-pikiran mereka yang dapat dijadikan kompas dalam melampaui dimensi kekerasan dalam politik, ….
Jakarta (ANTARA) – Berdebat wacana politik mengasyikkan, apalagi pada tahun politik menjelang pemilihan presiden kemarin. Setiap orang dapat ngomong apa saja wacana tokoh politik, baik yang dijunjung maupun yang dicela.
Pedagang burung atau tukang parkir yang tak pernah kuliah, apalagi baca diktat wacana dasar-dasar politik, mampu berargumentasi kenapa beliau menentukan tokoh yang sini bukan yang sana, dengan argumen yang meyakinkan.
Rupanya pengetahuan politik, sedikitnya wacana siapa-siapa yang pantas dipilih jadi pemimpin, tergolong pengetahuan elementer universal yang dapat dipelajari oleh siapa saja.
Apalagi, aneka macam jadwal tayang bincang di televisi menjelang pilpres kemarin menjadi salah satu tayangan layar beling yang digemari khalayak ramai. Makin seru sabung gagasan para narasumber dengan bunyi yang keras saling ngotot makin terhiburlah pemirsa.
Dipandang dari sudut keterlibatan publik dalam politik, gairah warga bersuara wacana aspirasi politik mereka terperinci pantas disyukuri. Literasi atau kemelekan politik warga dengan demikian meningkat tanpa harus ada penggagas yang menyelenggarakan aktivitas atau jadwal meningkatkan pendidikan politik warga.
Namun, ada ekses negatifnya. Jamak dimaklumi bahwa kegairahan ngomong politik menjelang pilpres kemarin memerosotkan sebagian orang menjadi pencela, pemaki-maki, pengujar kebencian terhadap lawan politik mereka.
Para pencela dan pengujar kebencian itu tak terbatas pada mereka yang berpendidikan rendah. Yang berkuliah pun, yang bergelar sarjana, juga dapat terperosok ke dalam politik antipati yang tak mau berkompromi terhadap lawan politik mereka.
Akibatnya, mau tak mau, orang dapat berkesimpulan bahwa politik menimbulkan sebagian warga jadi mengeras dalam berpikir, berolah kata, bahkan tak tidak mungkin juga dalam bertingkah laku. Sedikitnya memaki juga dapat dikategorikan sebagai tindakan, yakni tindak tutur.
Bila politik dapat memperkeras watak atau contoh bicara seseorang, agaknya perlulah mencari antidotnya, obat penawarnya, buat melembutkan abjad itu.
Antidot itu, yang diusulkan dalam goresan pena ini, adalah filsafat, sekumpulan pikiran atau hasil refleksi-kontemplasi kaum filsuf yang memperkaya khazanah pemikiran dari zaman sebelum Masehi hingga dikala ini.
Menyodorkan filsafat sebagai pelembut buat mereka yang menjadi keras alasannya perseteruan politik tentu tak dapat ke sembarang orang. Apalagi, kepada mereka yang tak berminat membaca wacana yang berat-berat menyerupai kaum akar rumput yang maunya pada hal-hal yang nyata saja.
Kepada mereka yang berpendidikan tinggi yang kemarin terperangkap dalam perseturuan politik yang keras itulah usul menjelajahi filsaat ini ditujukan.
Lalu di mana pengetahuan filsafat itu dapat dicari dan dijadikan materi pemelajaran sekaligus melembutkan diri? Di mana-mana. Bisa di jagat internet, dapat di buku-buku. Pada dekade 1980-an dosen fakultas psikologi di Universitas Indonesia Fuad Hasan menulis buku manis bertajuk Berkenalan dengan Eksistensialisme. Ini buku menarik yang memaparkan sejumlah pikiran tokoh filsuf eksistensialisme dengan uraian yang gamblang relatif dapat dicerna oleh setidaknya lulusan sekolah menengah atas.
Buku hampir serupa yang belakangan diterbitkan kembali untuk pembaca masa sekarang yaitu Filsuf-Filsuf Besar wacana Manusia yang diindonesiakan oleh K. Bertens dari karya Van der Weij yang paparannya juga gampang dimengerti.
Membaca dan menyelami pengetahuan filsafat tentu mangasyikkan, dan terperinci dapat dipakai sebagai jalan melupakan sakit hati bagi mereka yang berseteru habis-habisan selama pertarungan politik kemarin.
Kalau Anda termasuk pihak kurang beruntung atas prospek hasil pilpres kemarin, segeralah baca filsafat Albert Camus yang bicara bahwa hidup ini sungguh absurd, tak dapat dijelaskan dengan kebijaksanaan manusia.
Baca juga: Pendukung Jokowi dan Prabowo di Bekasi bersalaman
Anda niscaya bersyukur membaca Camus alasannya Anda masih punya kepercayaan kepada Pencipta Semesta, sementara filsuf Prancis yang tewas dalam kecelakaan kendaraan beroda empat itu bukan saja tak percaya kepada Tuhan tetapi juga mengecam Tuhan dengan menyampaikan bahwa hidup ini tak punya makna.
Akan tetapi, yang terpenting dari pembacaan atas filsafat Camus yaitu daya gugahnya dalam melawan absurditas, alias perlawanan terhadap kemustahilan.
Bagi mereka yang kecewa dalam perseteruan politik alasannya tokoh yang dijagokan belum meraih kemenangan politik, filsafat Camus memompakan semangat berjuang terus tanpa letih. Bukan kemenangan yang memberi makna, melainkan usaha yang tak kenal mengalah menyerupai yang diperlihatkan dalam mitologi Sysiphus.
Bagi mereka yang sedang euforia, sedikitnya secara rohani, alasannya junjungan politiknya punya prospek gemilang dalam pilpres kemarin juga perlu menyelami filsafat absurdisme Camus. Kenapa? Ya, alasannya hidup ini absurd. Anda tak tahu apa yang akan terjadi sesudah Dewi Fortuna menaburkan keberuntungan pada Anda dikala ini. Siapa yang akan menjamin bahwa bulan depan, tahun depan, bencana yang datangnya entah dari mana tiba-tiba menyergap Anda, yang dapat melenyapkan seluruh kemujuran yang telah Anda nikmati?
Camus setidaknya menyadarkan Anda untuk tidak perlu terkejut lagi menghadapi absurditas. Camus tak dapat menalar kenapa dalam sejarah begitu banyak anak-anak, orang-orang tak berdosa harus tertimpa kemalangan, kesengsaraan, dan kekejaman yang tak tanggung-tanggung.
Tentu masih banyak pemikir filsafat yang dapat disimak untuk menemukan pikiran-pikiran mereka yang dapat dijadikan kompas dalam melampaui dimensi kekerasan dalam politik, dalam berpolitik, dalam bersikap dikala memperdebatkan politik.
Anda mungkin beropini bahwa apa yang ditawarkan oleh filsafat dalam melembutkan kekerasan politik itu juga dapat ditimba dari agama, gudang pengetahuan, dan panduan bertindak sesuai dengan yang dihadirkan lewat wahyu illahi. Anda tidak keliru. Bedanya, filsafat berpijak dan bertolak dari pemikiran manusiawi yang sedalam-dalamnya hingga pada tataran rasio dan berhenti di wilayah iman, artinya tanpa melibatkan wahyu adikodrati.
Baca juga: BPN Prabowo-Sandi imbau pendukungnya tetap tenang
Baca juga: Jokowi: Saya ingin memeluk seluruh pendukung satu pelukan
Oleh Mulyo Sunyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2019