Kuliner Arab Klasik Tak Sebatas Domba, Tapi Juga Sea Food

FAST DOWNLOADads
Download





Masyarakat Arab klasik juga menyukai santapan sea food.


REPUBLIKA.CO.ID,  Sebagai kawasan mula-mula perkembangan Islam, Jazirah Arab menyimpan khazanah masakan yang kaya. Sheilah Kaufman dalam “Saudi Arabian Cuisine and Culture” membagi perkembangan sejarah cita rasa Arab ke dalam tiga masa, adalah zaman antik, era pertengahan, dan era modern.


Zaman antik didefinisikannya sebagai kurun waktu semenjak lima ribu tahun silam. Menurutnya, masyarakat setempat sudah piawai dalam perkebunan dan peternakan di sekitar oasis pada masa tersebut. Bagi yang hidup nomaden, mereka cenderung mengandalkan beras, kurma, dan daging domba yang dibawa ke mana pun berkelana. Bahan-bahan itu bila diolah dapat menjadi macam-macam sajian, semisal Nasi Kabsah.


Selain faktor geografis, ada pula kultur sosial yang melatari banyak sekali hidangan khas Arab. Untuk diketahui, semenjak ratusan tahun silam orang-orang Arab sudah aktif berdagang dengan bangsa-bangsa lain di penjuru dunia, terutama melalui jalur maritim. Interaksi dengan banyak kebudayaan memunculkan penemuan dalam bidang masakan mereka. 


Kaufman mencontohkan, dinamika yang terjadi semenjak zaman antik menghadirkan variasi Nasi Kabsah, termasuk dalam soal bumbu, jenis nasi dan daging, tidak harus domba, tetapi juga ayam, sapi, atau ikan. Belakangan, masakan itu menginspirasi lahirnya sajian gres di banyak sekali negeri, menyerupai Nasi Paella di Spanyol atau Nasi Biryani di India.


Persinggungan antara Arab dan budaya-budaya lain sangat mungkin terjadi jauh sebelum kedatangan Islam. Sebab, pada zaman klasik para pelaut Arab sudah biasa mengarungi Samudra Hindia untuk berdagang menuju dan dari Cina, Nusantara, India, Afrika dan Eropa. Dua kota utama, Makkah dan Madinah, sudah usang menjadi bandar perdagangan yang strategis yang di dalamnya orang-orang mendapat pasokan rempah-rempah. 


“Buah emas” itu sebelumnya berlabuh di Muskat atau Yaman, untuk kemudian melewati rute Arab Selatan, Ctesiphon (antara Sungai Eufrat dan Tigris di Irak), hingga ke Yerusalem dan Kairo. Rute tadi dinamakan pula sebagai Jalur Kemenyan (the Frankincense Trail). Alasannnya, tentu karena kemenyan dan juga rempah-rempah lain marak diperdagangkan di sana.


Jangan bayangkan Arab hanya wacana padang pasir dan wahah. Laut Merah yang memisahkannya dengan Afrika mengandung banyak sekali jenis ikan yang lezat dan bergizi, terutama untuk sajian kuliner maritim (sea food). Tidak sedikit orang Arab secara bebuyutan berprofesi sebagai nelayan di pesisir sana. Mereka berbagi tradisi masakan yang mengandalkan hasil laut, semisal lobster, kepiting, udang, ikan tuna, ikan kerapu, dan bahkan ikan hiu. 


Bahan-bahan itu diolah dengan bumbu-bumbu yang khas, lantas disajikan bersama dengan nasi atau kurma. Sajian itu tidak hanya dinikmati bersama keluarga, tetapi juga dijual kepada pelanggan. Bahkan hingga hari ini, banyak kedai atau restoran yang sengaja dibentuk menghadap pantai Laut Merah, semisal di Jeddah, Arab Saudi, untuk memanjakan mata para penikmat sea food.


 









>>Artikel Asli<<


FAST DOWNLOADads
Download
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url