Tak Ada ‘Arabisasi’ Pada Wisata Di Banyuwangi
Liputan6.com, Jakarta Terkait wisata halal yang dikembangkan Pemerintah Kabupaten (pemkab) Banyuwangi yang berbagi pantai halal tourism.Sempat menjadi perbincangan cukup hangat di media sosial. Ada goresan pena yang menuding konsep itu sebagai bentuk “Arabisasi”.
Tuduhan tersebut menerima respons keras dari sejumlah tokoh lintas agama dan budayawan Banyuwangi yang menggelar pertemuan, Sabtu (29/6/2019).
Ketua I Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyuwangi KH Nur Khozin menyebut pengembangan pariwisata halal di Banyuwangi sama sekali jauh dari Arabisasi.
“Arabisasi itu berarti menerapkan budaya Arab. Di Banyuwangi tidak ada menyerupai itu,” ungkapnya ketika konferensi pers di Rumah Adat Suku Osing yang terletak di Pendopo Banyuwangi, Sabtu (29/6).
Perwakilan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Banyuwangi I Komang Sudira mengatakan, pengembangan wisata dan kebudayaan di Banyuwangi telah berjalan dengan sangat baik dan menghargai keberagaman. Seni-budaya berbasis kearifan lokal Suku Osing (masyarakat orisinil Banyuwangi) digelar rutin dan semarak.
“Sampai ketika ini, tidak saya temukan upaya untuk memaksakan nilai-nilai agama tertentu yang sanggup merusak keberagaman yang ada. Apalagi dalam hal kebudayaan dan kesenian,” terangnya.
Ketua Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Banyuwangi Pendeta Anang Sugeng Sulistiyo mengatakan, kebudayaan dan kesenian yang berkembang dari suku Osing selama ini berlaku universal. Dia mencontohkan Tari Gandrung yang tak hanya ditarikan warga beragama tertentu. Anak-anak muda lintas agama juga menarikannya dalam aneka macam pekan raya seni yang ada di Banyuwangi.
“Semua agama bisa menarikannya. Baik muslim, Hindu, Kristen, Budha dan lainnya, semuanya bisa menarikannya. Jadi, tak ada pemaksaan sebagaimana yang dituduhkan dengan istilah arabisasi itu,” tutur Pendeta Anang.
Sejumlah budayawan juga menolak tuduhan arabisasi terhadap pariwisata di Banyuwangi. Apalagi tuduhan tersebut hanya menurut penggalan gosip yang tak lengkap.
“Jika diamati, tuduhan miring yang disematkan kepada pariwisata Banyuwangi ini dilakukan oleh orang luar Banyuwangi. Yang saya yakin, ia tidak tahu benar dengan kenyataan yang ada,” ungkap budayawan Banyuwangi Samsudin Adlawi.
Bahkan, tambah Samsudin, sejumlah foto dan narasi yang dibangun untuk melegitimasi tuduhan arabisasi itu hanya menurut prasangka. “Menyebut suku Osing dan kebudayaannya itu sebagai Hindu yaitu tuduhan yang buta sejarah dan tak faktual,” tegas mantan ketua Dewan Kesenian Blambangan tersebut.
Samsudin meminta tak ada upaya memecah belah kerukunan di Banyuwangi. Dia menyebut goresan pena yang menuding ada Arabisasi terhadap umat Hindu di Banyuwangi yaitu upaya mengadu domba. “Tapi itu tidak akan berhasil alasannya yaitu semua orang mengetahui betapa keberagaman dan kearifan lokal di Banyuwangi ini dirawat dan dirayakan, bukan dihilangkan,” ujarnya.
Pengembangan destinasi wisata halal, imbuh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, tak lebih dari seni administrasi pemasaran saja. Pangsa pasar wisata halal di dunia terus mengalami kenaikan. Pasar inilah yang sekarang coba dibidik oleh Banyuwangi.
“Halal tourism selama ini terus meningkat trendnya. Bahkan, di negara-negara yang notabenenya orang muslim bukan mayoritas, wisata halalnya sangat maju. Sementara itu, kita yang merupakan negara dengan lebih banyak didominasi penduduknya muslim, jauh tertinggal,” ungkap Anas.
Ceruk pasar tersebut yang coba diambil oleh dunia wisata di Banyuwangi. Dengan branding halal tourism diperlukan bisa menarik peminat wisata halal ke ujung timur pulau Jawa ini.
“Banyuwangi sendiri, sebenarnya, wisatanya sudah memenuhi standarisasi halal tourism. Hampir semua wisata, ada daerah ibadahnya. Makanannya pun masakan halal. Jadi, halal tourism ini bukan soal arabisasi, tapi soal promosi dan segmentasi pasar sana. Urusan komersial untuk mendatangkan wisatawan, tidak lebih, dan terang bukan Arabisasi,” tegas Anas.
Pertemuan tersebut juga diikuti Ketua I Forum Kerukunan Umat Beragama, budayawan senior Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, serta sejumlah tokoh budaya lainnya menyerupai Taufiq Hidayat dan Budianto.
(*)